Minggu, 30 Mei 2010

Upacara Minum Teh di Jepang









Upacara minum teh (茶道 sadō, chadō?, jalan teh) adalah ritual tradisional Jepang dalam menyajikan teh untuk tamu. Pada zaman dulu disebut chatō (茶の湯 ?) atau cha no yu. Upacara minum teh yang diadakan di luar ruangan disebut nodate.
Teh disiapkan secara khusus oleh orang yang mendalami seni upacara minum teh dan dinikmati sekelompok tamu di ruangan khusus untuk minum teh yang disebut chashitsu. Tuan rumah juga bertanggung jawab dalam mempersiapkan situasi yang menyenangkan untuk tamu seperti memilih lukisan dinding (kakejiku), bunga (chabana), dan mangkuk keramik yang sesuai dengan musim dan status tamu yang diundang.

Pada umumnya, upacara minum teh menggunakan teh bubuk matcha yang dibuat dari teh hijau yang digiling halus. Upacara minum teh menggunakan matcha disebut matchadō, sedangkan bila menggunakan teh hijau jenis sencha disebut senchadō. Berikut gambar teh dan pengaduknya .


Dalam percakapan sehari-hari di Jepang, upacara minum teh cukup disebut sebagai ocha (teh). Istilah ocha no keiko bisa berarti belajar mempraktekkan tata krama penyajian teh atau belajar etiket sebagai tamu dalam upacara minum teh.

Ketika masuk ruangan  Anda harus memberikan hormat dan apresiasi terhadap tuan rumah dan apa yang ada di  ruangan acara.
Setiap gerakan dalam mempersiapkan teh dilakukan oleh penyaji dengan lambat. Tungku menyala, air mendidih, perangkat diusap dengan saputangan merah yang dilipat segitiga dan dibalutkan ke tangan kiri. Air mendidih, dan  teh siap diseduh.

Sementara itu, sebelum nimum teh, disajikan sebuah kue yang manis sekali kepada setiap tamu. Cara menyajikan dan mengambilnya pun ada aturan yang penuh sopan santun. Saling membungkuk antara penyaji dan tamu, saling membungkuk untuk minta izin dan mempersilahkan mengambilnya duluan antara tamu satu dan tamu berikutnya. Cara memegang sumpit, mengambil kue, meletakkan di atas kertas, mengelap ujung sumpit, dan mengembalikannya juga menurut aturan tertentu. Tamu kemudian memakan kue manis yang bentuknya sesuai dengan bunga yang kembang pada musim itu. Untuk bulan Juni misalnya, adalah kue berbentuk bunga ajisai. Kue itu terbuat dari tepung ketan ditambah bahan sayuran, ditengahnya kacang merah tumbuk. Warnanya ungu, hijau dan putih. Kue ini dibuat manis untuk mempersiapkan lidah bagi hidangan teh yang pahit.
Setelah makan kue, nyonya rumah mulai menyiduk air yang sedang mendidih di dalam guci dengan gayung kayu, dituang ke dalam mangkuk yang sudah berisi bubuk teh. Dikocok-kocok hingga berbuih, lalu dihidangkan.
Saat menyajikan teh kepada tamu, tuan rumah memegang mangkuk dengan kedua tangan. Memutarnya dua kali di atas tangan kanan, meletakkannya di atas tatami di hadapan tamu, membungkuk dan mempersilahkan. Tamu membalas membungkuk dengan ucapan penerimaan, mengambilnya dengan dua tangan, memutar mangkuk dua kali di atas tangannya sambil mengamati pola di luar mangkuk, menyeruput teh sedapatnya dengan suara ribut, kemudian memberi komentar tentang mangkuknya.
Bentuk mangkuk untuk minum teh juga disesuaikan dengan musim. Mangkuk  yang tinggi untuk musim dingin, supaya kehangatan teh bertahan lebih lama. Mangkuk yang ceper untuk musim panas, supaya teh lebih cepat dingin. Dari pola hiasan di luar mangkuk bisa diketahui zaman pembuatannya.




Ketika upacara berlangsung tidak ada musik pengiring. Hanya bunyi angin menggesek dedaunan di luar, air menetes di pancuran, dan air mendidih di tungku kecil pojok ruangan. Suara alam, ditambah suara percakapan dengan tamu. Biasanya percakapan dilakukan antara tuan rumah dan tamu utama yang duduk paling ujung, paling dekat dengan tungku, paling awal mendapat sajian. Tamu lain semestinya mendengarkan saja percakapan seperti itu, tetapi saat ini terutama untuk tamu asing biasanya semua boleh bertanya.